1.
Bank Indover
Bank Indover (Indover) memperoleh lisensi bank dari Belanda pada
1965. Pada medio 1990-an Indover tumbuh pesat. Ketika krisis melanda wilayah
Asia, termasuk Indonesia, pada 1997, Indover terjebak kredit
macet.Pinjaman-pinjaman bermasalah ini diletakkan dalam badan khusus di luar
Indover sehingga Bank Indonesia (BI) harus mengorbankan US$370,5 juta sebagai
jaminan.
Bertahun-tahun setelah itu, sejumlah media massa menuduh Indover atas praktik-praktik
ilegalnya. Mereka mengklaim memiliki sejumlah bukti, tapi tidak pernah
membukanya di hadapan public.Pada awal 2000-an BI berencana melepas Indover
sebelum Januari 2009. BI menyatakan akan sepenuhnya bertanggung jawab sebagai
pemegang saham Indover hingga penarikan investasi selesai. Dalam hal itu, BI
mengeluarkan letter of comfort untuk bank sentral Belanda.Selanjutnya,
Indover bernegosiasi dengan sejumlah institusi, antara lain Crosby Capital
Partner, Bank Ekspor Indonesia (BEI), serta Bank Mandiri. Semua kesepakatan
dibatalkan.Setelah Lehman Brothers di Amerika Serikat (AS) kolaps, Indover
menghadapi masalah likuiditas karena neracanya dibiayai dengan dana jangka
pendek.
Pada 6 Oktober 2008 bank sentral Belanda bersedia memberikan
bantuan likuiditas dengan syarat BI bertindak sebagai penjamin. Namun, BI
menolak tawaran tersebut.Pengadilan Belanda menunjuk kurator untuk mengambil
alih manajemen Indover pada 7 Oktober 2008. Lalu, pada 10 Oktober 2008 kurator
meminta BI untuk menyediakan dana bagi Indover sebesar €250 juta dan mengacu
pada letter of comfort yang ditolak oleh BI karena hal ini melanggar
perundang-undangan.Di bawah tekanan waktu, BI dan pemerintah mengusulkan
rencana bailout €545,6 juta yang dibawa ke parlemen untuk persetujuan.
Sedihnya, tidak ada persetujuan sama sekali. Alhasil, pada 1 Desember 2008
Indover dinyatakan bangkrut.
2. Bank IFI
Pada tahun 2002 Bank Indonesia melakukan pengawasan
intensif terhadap Bank IFI karena kredit bermasalah (NPL) bank ini di atas 5
persen. Kredit bermasalah Bank IFI melonjak dan rasio modal jeblok. NPL Bank
IFI melonjak menjadi 24 persen sedangkan rasio modalnya di bawah 8 persen. BI
pun memasukkan Bank IFI dalam pengawasan khusus. Selama dalam pengawasan
khusus, BI mewajibkan pemegang saham pengendali atau 92 persen saham, yakni PT
Rahmaco Media Promosindo mencari tambahan modal, termasuk mencari investor.
Keluarga William Soeryadjaya bersama Sabar Sitorus segera mengambil alih bank
milik pengusaha Mc Donald, Bambang Rachmadi. Namun, keluarga Soeryadjaya batal
masuk. Bank IFI tidak mampu menambah modal sesuai batas waktu yang ditetapkan
pada 15 April 2008. Investor yang dijanjikan oleh pemegang saham pengendali tak
bisa memenuhi jadwal.
Tanggal 17 April 2009 Bank Indonesia mengumumkan pencabutan
izin Bank IFI. BI memilih mencabut izin bank ini karena Bank IFI dianggap tidak
sistemik. Nilai asetnya cuma 0,01 persen dari total aset perbankan.