Kebijakan Publik dalam Eksternalitas

PENDAHULUAN
Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar adalah eksternalitas. Secara umum dapat dikatakan bahwa eksternalitas adalah suatu efek samping dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, baik dampak yang menguntungkan maupun yang merugikan.
Dalam kenyataannya, baik dampak negatif maupun positif bisa terjadi secara bersamaan dan simultan. Jadi, yang dimaksud dengan eksternalitas hanyalah apabila tindakan seseorang mempunyai dampak terhadap orang lain atau segolongan orang lain  tanpa adanya kompensasi apapun juga sehingga timbul inefisiensi dalam alokasi faktor produksi.
Efisiensi alokasi sumberdaya dan distribusi konsumsi dalam ekonomi pasar dengan kompetisi bebas dan sempurna bisa terganggu, jika aktivitas dan tindakan invividu pelaku ekonomi baik produsen maupun konsumen mempunyai dampak (externality) baik terhadap mereka sendiri maupun terhadap pihak lain. 
Eksternalitas dapat terjadi dari empat interaksi ekonomi berikut ini :
1.      Dampak produsen terhadap produsen lain (effects of producers on other producers)
2.      Dampak produsen terhadap konsumen (effects of producers on consumers)
3.      Dampak konsumen terhadap konsumen lain (effects of consumers on consumers)
4.      Dampak konsumen terhadap produsen (effects of consumers on producers)
Lebih jauh Baumol dan Oates (1975) menjelaskan konsep ekternalitas dalam dua hal yang berbeda, yaitu :
1.      Eksternalitas yang bisa habis (a deplatable externality) yaitu suatu dampak eksternal yang mempunyai ciri barang individu (private good) yang mana jika barang itu dikonsumsi oleh seseorang individu, barang itu tidak bisa dikonsumsi oleh orang lain.
2.      Eksternalitas yang tidak habis (an undeplate externality) adalah suatu efek eksternal yang mempunyai ciri barang publik (public goods) yang mana barang tersebut bisa dikonsumsi oleh seseorang, dan juga bagi orang lain.  Dengan kata lain, besarnya konsumsi seseorang akan barang tersebut tidak akan mengurangi konsumsi bagi yang lainnya.
Dari dua konsep eketernalitas ini, eksternalitas jenis kedua merupakan masalah pelik/rumit dalam ekonomi lingkungan.  Keberadaan eksternalitas yang merupakan barang publik seperti polusi udara, air, dan suara merupakan contoh eksternalitas jenis yang tidak habis, yang memerlukan instrumen ekonomi untuk menginternalisasikan dampak tersebut dalam aktivitas dan analisa ekonomi.
SOLUSI PUBLIK TERHADAP EKSTERNALITAS
Dalam prakteknya, bukan hanya pemerintah saja yang perlu dan dapat mengatasi eksternalitas itu, melainkan juga pihak-pihak non pemerintah, baik itu pribadi/kelompok maupun perusahaan/organisasi kemasyarakatan. Pada dasarnya, tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah maupun pihak swasta (perorangan dan kelompok), berkenaan dengan penanggulangan eksternalitas itu sama saja, yakni untuk mendorong alokasi sumber daya agar mendekati kondisi yang optimum secara sosial.  Pada pembahasan berikut kita akan menelaah solusi regulasi dan menciptakan pasar yang dilakukan oleh pemerintah dan pribadi dalam mengatasi persoalan eksternalitas.
Regulasi
Publik melalui pemerintah dapat mengatasi suatu eksternalitas dengan melarang atau mewajibkan perilaku tertentu dari pihak-pihak tertentu. Sebagai contoh, untuk mengatasi kebiasaan membuang limbah beracun ke sungai, yang biaya sosialnya jauh lebih besar dari pada   keuntungan   pihak-pihak   yang   melakukannya, pemerintah dapat menyatakannya sebagai tindakan kriminal dan akan mengadili serta menghukum pelakunya. Dalam kasus ini pemerintah menggunakan regulasi atau pendekatan komando dan kontrol untuk melenyapkan eksternalitas tadi. Namun kasus-kasus polusi umumnya tidak sesederhanana itu. Tuntutan para pecinta lingkungan untuk menghapuskan segala  bentuk polusi, sesungguhnya tidak mungkin terpenuhi, karana polusi merupakan efek sampingan tak terelakkan dari kegiatan industri.
Jadi,  yang  harus  diupayakan  bukan penghapusan polusi secara total, melainkan pembatasan polusi hingga  ambang  tertentu,  sehingga  tidak  terlalu  merusak lingkungan namun tidak juga menghalangi kegiatan produksi. Untuk  menentukan  ambang  aman  tersebut,  kita  harus menghitung segala untung ruginya secara cermat.  Di Amerika Serikat,   Badan   Perlindungan   Lingkungan   Hidup   (EPA/Environmental Protection Agency) adalah lembaga yang diserahi wewenang dan tugas untuk merumuskan, melaksanakan, dan mengawasi berbagai regulasi yang dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup.

Bentuk regulasi dibidang lingkungan hidup itu sendiri bisa bermacam-macam.  Adakalanya EPA langsung menetapakan batasan polusi yang diperbolehkan  untuk suatu perusahaan. Terkadang EPA mewajibkan pemakaian teknologi atau peralalatan tertentu untuk mengurangi polusi di pabrik-pabrik. Di semua kasus, demi memperoleh suatu peraturan yang baik dan tepat guna, para pejabat pemerintah harus mengetahui spesifikasi dari setiap jenis/sektor industri, dan berbagai alternatif teknologi yang dapat diterapkan oleh industri yang bersangkutan, dalam rangka mengurangi atau membatasi polusi. Masalahnya, informasi seperti ini sulit di dapatkan.
Menciptakan Pasar
Sekarang, mari kita andaikan  EPA (Enviromental Protection Agency) mengesampingkan saran para ekonom, dan menerapkan pendekatan formal. EPA mengeluarkan peraturan yang mengharuskan setiap pabrik, untuk menurunkan limbahnya hingga 300 ton per tahun. Namun, hanya sehari  setelah  peraturan  itu  diumumkan,  pimpinan  dua perusahaan, yang satu dan pabrik baja dan yang lain dari pabrik kertas, datang ke kantor EPA untuk mengajukan suatu usulan.
Pabrik baja perlu menaikkan ambang polusinya, misalnya satu ton per tahun. Agar polusi total tidak bertambah, pengelola pabrik kertas bersedia menurunkan polusinya sebanyak itu, asalkan si pemilik pabrik baja memberikan kompensasi Rp. 5.000.000.- dan permintaan ini sudah disanggupi oleh pemilik pabrik baja. Haruskan EPA mengizinkan kedua pabrik itu melakukan jual-beli hak berpolusi sendiri ?



Dari sudut pandang efisiensi ekonomi pemberian izin bagi kedua pabrik tersebut akan menjadi kebijakan yang baik. Kesepakatan antara kedua pabrik itu akan menguntungkan keduanya, karena mereka secara sukarela menyetujuinya. Di samping itu, kesepakatan itu tidak akan mengakibatkan dampak eksternal apa pun, karena batas posisi total tidak dilanggar. Jadi, kesejahteraan total akan meningkat kalau EPA mengizinkan kedua pabrik itu melakukan jual-beli hak berpolusi.
Logika yang sama yang berlaku untuk setiap transfer hak berpolusi secara sukarela, dan satu perusahaan ke perusahaan lain.  Jika  kemudian  EPA  memang mengizinkan  hal  itu,  maka sesungguhnya EPA telah menciptakan sumber daya langka yang baru, yakni hak berpolusi. Pasar yang memperdagangkan hak berpolusi ini selanjutnya pasti akan tumbuh dan berkembang, dan pada gilirannya, pasar ini akan tunduk pada kekuatan-kekuatan penawaran  dan  permintaan.  Perusahaan-perusahaan  yang dihadapkan pada biaya yang sangat tinggi untuk berpolusi, pasti akan aktif dipasar itu, karena bagi mereka, membeli hak berpolusi lebih   murah   dibanding   melakukan   investasi   baru   untuk menurunkan   polusi   pabrik-pabrik   mereka.   Sebaliknya, perusahaan-perusahaan yang tidak dihadapkan pada kendala yang berat untuk menurunkan polusi, pasti akan senang hati menjual  haknya  berpolusi  karena  hal  itu  akan  memberinya pendapatan cuma-cuma.
Satu keuntungan dari berkembangnya pasar hak berpolusi ini,  adalah  alokasi/pembagian  awal  izin  berpolusi  dikalangan perusahaan tidak akan menjadi masalah, jika ditinjau dari sudut pandang  efisien  ekonomi.  Logika  yang  melatarbelakangi kesimpulan tersebut mirip dengan mendasari teorema Coase.
Perusahaan-perusahaan yang paling mampu menurunkan polusi akan menjual haknya berpolusi, sedangkan perusahaan yang harus mengeluarkan biaya besar untuk menurunkan polusi, akan menjadi pembelinya. Selama pasar hak berpolusi ini dibiarkan bekerja dengan bebas, maka alokasi akhirnya akan lebih efisien dibanding alokasi awalnya, terlepas dari sebaik apapun alokasi awal tersebut.
Meskipun penurunan polusi melalui pemberlakuan izin polusi nampak berbeda kasusnya dari penerapan pajak Pigovian, sesungguhnya dampak akhir dari kedua kebijakan ini akan sama saja. Dalam kedua kasus ini, perusahaan tetap harus membayar atas polusi yang ditimbulkannya. Dalam kasus pajak Pigovian, perusahaan pencipta polusi harus membayar pajak atau semacam denda kepada pemerintah, atas polusi yang ditimbulkannya itu, sedangkan pada kasus izin polusi, perusahaan harus membeli izin itu dari pemerintah. Bahkan perusahaan-perusahaan yang sudah memiliki izin polusi tetap harus membayar dalam bentuk lain, yakni biaya oportunitas berpolusi berupa pendapatan yang akan mereka peroleh seandainya mereka menjual izin polusi itu dalam sebuah pasar terbuka. Dengan demikian, penerapan izin polusi, dapat menginternalisasikan eksternalitas, dengan memaksa perusahaan menanggung ongkos tertentu untuk berpolusi.
Panel yang terdapat pada gambar dibawah ini menunjukkan kurva permintaan atas hak berpolusi. Kurva permintaan ini memperlihatkan bahwa semakin rendah biaya atau harga polusi, akan semakin tinggi permintaan polusi  artinya  perusahaan-perusahaan  akan  lebih  leluasa berpolusi, karena biayanya relatif rendah. Selanjutnya pada gambar EPA secara  langsung  membatasi  kuantitas  polusi  dengan  cara menerbitkan sejumlah izin polusi terbatas. Dalam kasus ini, kurva penawaran hak berpolusi bersifat inelastis sempuma (Karena perusahaan-perusahaan langsung dijatah kuantitas polusinya, sebanyak izin polusi yang ada). Di sini, posisi kurva permintaan akan menentukan harga polusi.
Dalam beberapa hal, penjualan izin polusi bisa lebih baik, misalkan saja EPA suatu ketika ingin membatasi limbah yang dibuang di sungai tidak lebih dari 600 ton. Dalam kasus ini, pemecahan akan diperoleh dengan melelang izin polusi sebanyak 600 ton limbah. Hasil lelang ini akan memberi pendapatan yang dapat digunakan untuk konservasi alam akibat polusi tersebut.


KESIMPULAN
Kalau orang-orang tidak dapat menyelesaikan sendiri masalah eksternalitas yang mereka hadapi, maka pemerintah perlu turun tangan. Namun adanya eksternalitas itu tidaklah menjadi alasan untuk sepenuhnya mencampakkan kekuatan pasar. Pemerintah dapat mengatasi persoalan eksternalitas itu tanpa  meninggalkan  pasar,  yakni  dengan  secara  langsung mewajibkan para pembuat keputusan (produsen atau konsumen) menanggung segenap biaya atau akibat yang ditimbulkan oleh prilaku atau tindakan mereka. Contohnya adalah melalui regulasi pembatasan polusi dan melalui  penerbitan  izin  polusi  terbatas yang dapat diperdagangkan.  Hanya perusahaan yang memiliki izin yang boleh menciptakan polusi, itupun dalam kadar yang terbatas. Penciptaan pasar melalui izin polusi merupakan cara yang lebih baik dan pada dasarnya merupakan  upaya  internalisasi  ekstenalitas  polusi.  Dalam prakteknya peran kelompok-kelompok pecinta lingkungan terus meningkat, sehingga kini mereka menjadi kekuatan utama dalam melindungi kelestarian lingkungan hidup. Kekuatan pasar jika dapat diarahkan secara tepat dapat menjadi resep yang paling mujarab untuk mengatasi kegagalan pasar. 
Sumber: berbagai web

0 Responses
:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =)) Didukung oleh NewPurwacarita